MAKALAH KORUPSI DI KALANGAN ELIT POLITIK
download file
MAKALAH KORUPSI
DI KALANGAN ELIT POLITIK
Untuk memenuhi tugas matakuliah
Pendidikan Kewarganegaraan
Oleh
Nama : Endri Susanto
NIM :
21060112060002
PSD III TEKNIK ELEKTRO
FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2013
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR................................................................................................................... 1
BAB 1 PENDAHULUAN
A. Latar Belakang.................................................................................................................. 2
B. Rumusan Masalah........................................................................................................... 3
C. Tujuan Penulisan Makalah................................................................................................ 3
BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian Korupsi........................................................................................................... 4
B. Pola-Pola Korupsi............................................................................................................. 4
C. Faktor-Faktor Penyebab Korupsi....................................................................................... 5
1.Aspek
Perilaku individu............................................................................................. 5
2.Aspek
Organisasi Kepemerintahan............................................................................ 5
3.Aspek
Peraturan Perundang-Undangan..................................................................... 6
4.Aspek
Pengawasan................................................................................................... 6
D. Korupsi APBD................................................................................................................... 7
E. Solusi Penanggulangan Korupsi........................................................................................ 8
BAB III PENUTUPAN
KESIMPULAN........................................................................................................................... 10
DAFTAR PUSTAKA.................................................................................................................... 11
KATA
PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang
telah memberikan rahmat serta karunia-Nya kepada kami sehingga kami berhasil
menyelesaikan Makalah tentang politik ini yang alhamdulillah tepat pada
waktunya yang berjudul “KORUPSI DI KALANGAN ELIT POLITIK”. Makalah
ini dibuat dengan tujuan untuk memenuhi tugas mata kuliah Pkn (Pendidikan
Kewarganegaraan) .
Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna,
oleh karena itu kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun
selalu kami harapkan demi kesempurnaan makalah ini.
Akhir kata, kami sampaikan terima kasih kepada semua pihak
yang telah berperan serta dalam penyusunan makalah ini dari awal sampai akhir.
Semoga Allah SWT senantiasa meridhai segala usaha kita. Amin.
Penyusun
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
APBD Seiring gelombang otonomi daerah, ada
beberapa perubahan dalam hubungan antara eksekutif dengan legislatif. Pertama,
eksekutif bersama dewan mempunyai otonomi penuh untuk membuat
kebijakan-kebijakan lokal; dankedua, anggota dewan memiliki otonomi
penuh dan mempunyai peluang besar dalam proses legislasi. Kewenangan dewan
dalam membuat kebijakan tidak terbatas hanya dalam memilih kepala daerah,
tetapi juga berwenang membuat undang-undang, pengawasan, investigasi, dan
bersama-sama dengan eksekutif menyusun yang sebelumnya tidak pernah dilakukan.
Implikasi lain dari otonomi daerah adalah pelimpahan dana ini dibarengi dengan
dilaksanakannya reformasi penganggaran dan reformasi sistem akuntansi keuangan
daerah (Halim, 2003). Reformasi penganggaran yang terjadi adalah munculnya
paradigma baru dalam penyusunan anggaran yang mengedepankan prinsip
akuntabilitas publik, partisipasi masyarakat, dan transparansi anggaran.
Disamping itu, anggaran harus dikelola dengan pendekatan kinerja (performance
oriented), prinsip efisien dan efektif (Value For Money), keadilan
dan kesejahteraan dan sesuai dengan disiplin anggaran (Mardiasmo, 2003).
Namun, euforia otonomi daerah ternyata banyak memunculkan
dampak negatif. Menurut Khudori (2004) salah satu yang menonjol adalah
munculnya "kejahatan institusional". Baik eksekutif maupun
legislatif seringkali membuat peraturan yang tidak sesuai dengan logika
kebijakan publik. Jika kejahatan institusional itu dipraktikkan secara kolektif
antara eksekutif dan legislatif. Legislatif yang mestinya mengawasi kinerja
eksekutif justru ikut bermain dan melakukan tindak pidana korupsi secara
bersama-sama dengan cara yang "legal". "Legal"
karena dilegitimasi dengan keputusan.
Korupsi di Indonesia benar-benar sangat
sistemik, bahkan korupsi yang terjadi sudah berubah menjadi vampir
state karena hampir semua infra dan supra struktur politik dan sistem
ketatanegaraan sudah terkena penyakit korupsi. Agenda pemberantasan korupsi
sampai detik ini hanyalah dijadikan komoditas politik bagi elit politik, lebih
banyak pada penghancuran karakter (character assasination) bagi
elit yang terindikasikan korupsi dibanding pada proses hukum yang fair dan
adil. Law enforcement bagi koruptor juga menjadi angin lalu,
padahal tindakan korupsi yang dilakukan koruptor sangatlah merugikan rakyat
Masduki (2002) dalam Klitgaard, dkk (2002).
Fenomena korupsi tersebut diatas menurut Baswir
(1996) pada dasarnya berakar pada bertahannya jenis birokrasi patrimonial di
negeri ini. Dalam birokrasi ini, dilakukannya korupsi oleh para birokrat memang
sulit dihindari. Sebab kendali politik terhadap kekuasaan dan birokrasi memang
sangat terbatas. Penyebab lainnya karena sangat kuatnya pengaruh integralisme
di dalam filsafat kenegaraan bangsa ini, sehingga cenderung masih mentabukan
sikap oposisi. Karakteristik negara kita yang merupakan birokrasi patrimonial
dan negara hegemonik tersebut menyebabkan lemahnya fungsi pengawasan, sehingga
merebaklah budaya korupsi itu.
Menurut Susanto (2001) korupsi
pada level pemerintahan daerah adalah dari sisi penerimaan, pemerasan uang
suap, pemberian perlindungan, pencurian barang-barang publik untuk kepentingan
pribadi. Sementara tipe korupsi menurut de Asis (2000) adalah korupsi politik,
misalnya perilaku curang (politik uang) pada pemilihan anggota legislatif
ataupun pejabat-pejabat eksekutif, dana ilegal untuk pembiayaan kampanye,
penyelesaian konflik parlemen melalui cara-cara ilegal dan teknik lobi yang menyimpang).
Tipe korupsi yang terakhir yaitu clientelism (pola hubungan
langganan).
Bentuk tindak pidana korupsi pada level
legislatif adalah korupsi APBD untuk pos keuangan DPRD yang terjadi akhir-akhir
ini dan marak diberitakan di berbagai media. Pidana korupsi APBD kebanyakan
melanggar PP 110/2000 walaupun sekarang telah diganti dengan PP 24/2004 tentang
Kedudukan Keuangan DPRD. Kasus Kampar misalnya, sejumlah 45 anggota DPRD telah
dijadikan tersangka karena telah menganggarkan pesangon. Di Kota Padang Sumatera
Barat 43 anggota DRPD telah dijatuhi vonis karena merugikan uang negara
sebanyak 10,4 M. Demikian juga DPRD Bali telah melakukan penggelapan uang
Tirtayatra (persembahyangan di India) sejumlah 112 juta. Deretan kasus
penyimpangan APBD juga terjadi di jawa Timur seperti di DPRD Kota Surabaya 2,7
M, DPRD Sidoarjo 20,3 M, DPRD Tulungagung 1,6 M, DPRD Nganjuk 5,3 M, DPRD
Banyuwangi 225 juta, DPRD Kota Blitar 1,5 M dan masih banyak lagi (Kompas,
8/9/04)
Oleh karena itu, melalui
makalah ini akan dijelaskan apa itu korupsi sebenarnya, apa faktor-faktor yang
mengakibatkan beberapa pihak melakukan korupsi seperti penjelasan di atas,
serta bagaimanakah solusi yang harus ditempuh guna menyelesaikan persoalan
korupsi, khususnya di kalangan elit politik.
B. Rumusan
Masalah
1. Apa
definisi dari korupsi?
2. Bagaimanakah
bentuk pola-pola korupsi di kalangan politik?
3. Apa
sajakah faktor-faktor terjadinya korupsi di kalangan politik?
4. Bagaimana
contoh konkrit perilaku korupsi yang terjadi di Indonesia?
5. Bagaimanakah
solusinya?
C. Tujuan
Penulisan Makalah
1. Mengetahui
definisi dari korupsi.
2. Mengetahui
pola-pola korupsi di kalangan politik.
3. Mengetahui
faktor-faktor terjadinya korupsi di kalangan politik.
4. Mengetahui
contoh konkrit perilaku korupsi yang terjadi di Indonesia.
5. Mengetahui
solusi untuk mengatasinya.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Korupsi
Korupsi berasal dari suatu kata dalam bahasa Inggris yaitu corrupt,
yang berasal dari perpaduan dua kata dalam bahasa latin yaitu com yang
berarti bersama-sama dan rumpere yang berarti pecah dan jebol.
Menurut Bernardi (1994) istilah korupsi juga dapat diartikan sebagai suatu
perbuatan tidak jujur atau penyelewengan yang dilakukan karena adanya suatu
pemberian. Sementara Hermien H.K. (1994) mendefinisikan korupsi sebagai
kekuasaan tanpa aturan hukum. Oleh karena itu, selalu ada praduga pemakaian
kekuasaan untuk mencapai suatu tujuan selain tujuan yang tercantum dalam pelimpahan
kekuasaan tersebut.
B.
Pola-Pola
Korupsi
Baswir
(1993) menjelaskan ada 7 pola korupsi yang sering dilakukan oleh oknum-oknum
pelaku tindak korupsi baik daari kalangan pemerintah maupun swasta. Ketujuh
pola tersebut meliputi : (1) pola konvensional, (2) pola upeti, (2) pola
komisi, (4) pola menjegal order, (5) pola perusahaan rekanan, (6) pola kuitansi
fiktif dan (7) pola penyalahgunaan wewenang. Untuk menanggulangi terjadinya
korupsi yang bermacam-macam jenisnya ini diperlukan strategi khusus dari semua
bidang, meskipun untuk menghilangkan sama sekali praktik korupsi adalah sesuatu
yang mustahil, tertapi setidaknya-tidaknya ada upaya untuk menekan terjadinya
tindak korupsi. Strategi yang dibentuk hendaknya melibatkan seluruh lapisaan
masyarakat dan pejabat struktur pemerintahan.
Sementara
menurut Fadjar (2002) pola terjadinya korupsi dapat dibedakan dalam tiga
wilayah besar yaitu ;Pertama, bentuk penyalahgunaan kewenangan yang
berdampak terjadinya korupsi adalah pertama; Mercenery abuse of power, penyalahgunaan
wewenang yang dilakukan oleh orang yang mempunyai suatu kewenangan tertentu
yang bekerjasama dengan pihak lain dengan cara sogok-menyogok, suap, mengurangi
standar spesifikasi atau volume dan penggelembungan dana (mark up).
Penyalahgunaan wewenang tipe seperti ini adalah biasanya non politis dan
dilakukan oleh level pejabat yang tidak terlalu tinggi kedudukannya.
Kedua, Discretinery
abuse of power, pada tipe ini penyalahgunaan wewenang yang dilakukan
oleh pejabat yang mempunyai kewenangan istimewa dengan mengeluarkan kebijakan
tertentu misalnya keputusan Walikota/Bupati atau berbentuk peraturan
daerah/keputusan Walikota/Bupati yang biasanya menjadikan mereka dapat
bekerjasama dengan kawan/kelompok (despotis) maupun dengan keluarganya
(nepotis).
Ketiga, Idiological
abuse of power, hal ini dilakukan oleh pejabat untuk mengejar tujuan
dan kepentingan tertentu dari kelompok atau partainya. Bisa juga terjadi
dukungan kelompok pada pihak tertentu untuk menduduki jabatan strategis di
birokrasi/lembaga ekskutif, dimana kelak mereka akan mendapatkan kompensasi
dari tindakannya itu, hal ini yang sering disebut politik balas budi yang
licik. Korupsi jenis inilah yang sangat berbahaya, karena dengan praktek ini
semua elemen yang mendukung telah mendapatkan kompensasi.
C. Faktor-Faktor Penyebab Korupsi
Terjadinya
korupsi disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu (1) sistem pemerintahan dan
birokrasi yang memang kondusif untuk melakukan penyimpangan, (2) belum adanya
sistem kontrol dari masyarakat yang kuat, dan belum adanya perangkat peraturan
dan perundang-perundangan yang tegas. Faktor lainnya menurut Fadjar (2002)
adalah tindak lanjut dari setiap penemuan pelanggaran yang masih lemah dan
belum menunjukkan “greget” oleh pimpinan instansi. Terbukti dengan banyaknya
penemuan yang ditutup secara tiba-tiba tanpa alasan yang jelas serta tekad
dalam pemberantasan korupsi dan dalam penuntasan penyimpangan yang ada dari
semua unsur tidak kelihatan. Disamping itu kurang memadainya sistem
pertanggungjawaban organisasi pemerintah kepada masyarakat yang menyebabkan
banyak proyek yang hanya sekedar pelengkap laporan kepada atasan.
Menurut
Arifin (2000) faktor-faktor penyebab terjadinya korupsi adalah: (1) aspek
prilaku individu organisasi, (2) aspek organisasi, dan (3) aspek masyarakat
tempat individu dan organisasi berada. Sementara menurut Lutfhi (2002)
faktor-faktor penyebab terjadinya korupsi adalah: (1) motif, baik motif ekonomi
maupun motif politik, (2) peluang, dan (3) lemahnya pengawasan. Berdasarkan
uraian sebelumnya, dalam penelitian ini penulis mengelompokkan empat aspek yang
menyebabkan terjadinya korupsi yaitu:
1. Aspek Perilaku individu
Apabila
dilihat dari segi pelaku korupsi, sebab-sebab dia melakukan korupsi dapat
berupa dorongan dari dalam dirinya, yang dapat pula dikatakan sebagai
keinginan, niat, atau kesadaran untuk melakukan. Sebab-sebab manusia terdorong
untuk melakukan korupsi antara lain : (a) sifat tamak manusia, (b) moral yang kurang
kuat menghadapi godaan, (b) penghasilan kurang mencukupi kebutuhan hidup yang
wajar, (d) kebutuhan hidup yang mendesak, (e) gaya hidup konsumtif, (f) tidak
mau bekerja keras, dan (g) ajaran-ajaraan agama kurang diterapkan secara benar.
Dalam teori
kebutuhan Maslow, demikian dikatakan Sulistyantoro (2004) korupsi seharusnya
hanya dilakukan oleh orang untuk memenuhi dua kebutuhan yang paling bawah dan
logika lurusnya hanya dilakukan oleh komunitas masyarakat yang pas-pasan yang
bertahan hidup, namun saat ini korupsi dilakukan oleh orang kaya, serta
pendidikan ti nggi.
2. Aspek Organisasi Kepemerintahan
Organisasi
dalam hal ini adalah organisasi dalam arti yang luas, termasuk sistem
pengorganisasian lingkungan masyarakat. Organisasi yang menjadi korban korupsi
atau dimana korupsi terjadi biasanya memberi adil terjadinya korupsi karena
membuka peluang atau kesempatan untuk terjadinya korupsi (Tunggal, 2000).
Bilamana organisasi tersebut tidak membuka peluang sedikitpun bagi seseorang
untuk melakukan korupsi, maka korupsi tidak akan terjadi. Aspek-aspek penyebab
terjadinya korupsi dari sudut pandang organisasi ini meliputi: (a) kurang
adanya teladan dari pimpinan, (b) tidak adanya kultur organisasi yang benar,
(c) sistem akuntabilitas di instansi pemerintah kurang memadai, dan (d)
manajemen cenderung menutupi korupsi di dalam organisasinya.
Berdasarkan
jejak pendapat yang dilakukan oleh Kompas 29/7/2004 di kota Surabaya, Medan,
Jakarta dan Makasar, menyebutkan bahwa korupsi yang terjadi di tubuh organisasi
kepemerintahan (eksekutif) maupun legislatif. Tidak kurang dari 40 persen
responden menilai bahwa tindakan korupsi dilingkungan birokrasi kepemerintahan
dan wakil rakyat di daerahnya semakin menjadi-jadi. hanya 20 persen responden
saja yang berpendapat bahwa prilaku korupsi di pemkot dan DPRD masing-masing
sudah berkurang.
3. Aspek Peraturan Perundang-Undangan
Tindakan
korupsi mudah timbul karena ada kelemahan di dalam peraturan
perundang-undangan, yang dapat mencakup: (a) adanya peraturan
perundang-undangan yang monolistik yang hanya menguntungkan kerabat dan
“konco-konco” presiden, (b) kualitas peraturan perundang-undangan kurang
memadai, (c) peraturan kurang disosialisasikan, (d) sangsi yang terlalu ringan,
(e) penerapan sangsi yang tidak konsisten dan pandang bulu, dan (f) lemahnya
bidang evalusi dan revisi peraturan perundang-undangan. Beberapa ide strategis
untuk menanggulangi kelemahan ini telah dibentuk oleh pemerintah diantaranya
dengan mendorong para pembuat undang-undang untuk melakukan evaluasi atas
efektivitas suatu undang-undang secara terencana sejak undang-undang tersebut
dibuat.
Lembaga-lembaga
ekskutif (Bupati/Walikota dan jajarannya) dalam melakukan praktek korupsinya
tidak selalu berdiri sendiri, akan tetapi melalui suatu konspirasi dengan para
pengusaha atau dengan kelompok kepentingan lainnya misalnya, dalam hal
penentuan tender pembangunan yang terlebih dahulu pengusaha menanamkan saham
kekuasaannya lewat proses pembiayaan pengusaha dalam terpilihnya
bupati/Walikota tersebut. Kemudian mereka secara bersama-sama dengan DPRD,
Bupati/Walikota membuat kebijakan yang koruptif yang hanya menguntungkan
sebagian kecil masyarakat yaitu para kolega, keluarga maupun kelompoknya sendiri.
Dengan kemampuan lobi kelompok kepentingan dan pengusaha kepada pejabat publik
yang berupa uang sogokan, hadiah, hibah dan berbagai bentuk pemberian
yang mempunyai motif koruptif telah berhasil membawa pengusaha melancarkan
aktifitas usahanya yang berlawanan dengan kehendak masyarakat, sehingga
masyarakat hanya menikmati sisa-sisa ekonomi kaum borjuasi atau pemodal yang
kapitalistik. Dari kasus ini dapat disimpulkan bahwa terjadinya korupsi APBD
sangat mungkin jika aspek peraturan perundang-undangan sangat lemah atau hanya
menguntungkan pihak tertentu saja. Hal senada juga dikemukakan oleh Basyaib,
dkk (2002) yang menyatakan bahwa lemahnya sistem peraturan perundang-undangan
memberikan peluang untuk melakukan tindak pidana korupsi.
4. Aspek Pengawasan
Pengawasan
yang dilakukan instansi terkait (BPKP, Itwil, Irjen, Bawasda) kurang bisa
efektif karena beberapa faktor, diantaranya (a) adanya tumpang tindih
pengawasan pada berbagai instansi, (b) kurangnya profesionalisme pengawas, (c)
kurang adanya koordinasi antar pengawas (d) kurangnya kepatuhan terhadap etika
hukum maupun pemerintahan oleh pengawas sendiri. hal ini sering kali para
pengawas tersebut terlibat dalam praktik korupsi. belum lagi berkaitan dengan
pengawasan ekternal yang dilakukan masyarakat dan media juga lemah, dengan
demikian menambah deretan citra buruk pengawasan APBD yang sarat dengan
korupsi. Hal ini sejalan dengan pendapatnya Baswir (1996) yang mengemukakan
bahwa negara kita yang merupakan birokrasi patrimonial dan negara hegemonik
tersebut menyebabkan lemahnya fungsi pengawasan, sehingga merebaklah budaya
korupsi itu.
Secara umum
pengawasan terbagi menjadi dua, yaitu pengawasan internal (pengawasan
fungsional dan pengawasan langsung oleh pimpinan) serta pengawasan bersifat
eksternal (pengawasan dari legislatif dan masyarakat). Dimana pengawasan ini
kurang bisa efektif karena adanya beberapa faktor, diantaranya adanya tumpang
tindih pengawasan pada berbagai instansi, kurang profesionalismenya pengawas
serta kurangnya kepatuhan pada etika hukum maupun pemerintahan oleh pengawas
sendiri. Dan berkaitan dengan hal ini pengawas sendiri sering kali terlibat
dalam praktek korupsi.
D. Korupsi APBD
Secara umum
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Daerah (APBD) adalah pernyataan tentang
rencana pendapatan dan belanja daerah dalam periode tertentu (1 tahun). Pada
awalnya fungsi APBD adalah sebagai pedoman pemerintah daerah dalam mengelola
keuangan daerah untuk satu periode. Selanjutnya, sebelum anggaran dijalankan harus
mendapat persetujuan dari DPRD sebagai wakil rakyat maka fungsi anggaran juga
sebagai alat pengawasan dan pertanggungjawaban terhadap kebijakan publik.
Dengan melihat fungsi anggaran tersebut maka seharusnya anggaran
merupakan power relation antara eksekutif, legislatif dan
rakyat itu sendiri (Sopanah & Wahyudi, 2004).
Semenjak
DPRD mempunyai otoritas dalam penyusunan APBD terdapat perubahan kondisi yang
menimbulkan banyak masalah. Pertama, sistem pengalihan anggaran
yang tidak jelas dari pusat ke daerah. Kedua, karena keterbatasan waktu
partisipasi rakyat sering diabaikan. Ketiga, esensi otonomi dalam penyusunan
anggaran masih dipelintir oleh pemerintah pusat karena otonomi pengelolaan
sumber-sumber pendapatan masih dikuasai oleh pusat sedangkan daerah hanya
diperbesar porsi belanjanya. Keempat, ternyata DPRD dimanapun memiliki
kesulitan untuk melakukan asessment prioritas kebutuhan rakyat
yang harus didahulukan dalam APBD. Kelima, volume APBD yang disusun oleh daerah
meningkat hingga 80% dibandingkan pada masa orde baru, hal ini menimbulkan
masalah karena sedikit-banyak DPRD dan pemerintah daerah perlu berkerja lebih
keras untuk menyusun APBD. Keenam, meskipun masih harus melalui pemerintah
pusat namun pemerintah menurut UU No 25 tahun 1999 memiliki kewenangan untuk
melakukan pinjaman daerah baik ke dalam negeri maupun ke luar negeri.
Kondisi
yang berubah diatas memicu beberapa kecenderungan. Pertama,, adanya jargon dari
pemerintah daerah yang begitu kuat untuk meningkatkan PAD (Pendapatan Asli
Daerah) dalam rangka otonomi daerah. Dengan demikian bagi beberapa daerah yang
miskin SDA akan memilih menggali PAD dengan meningkatan pajak. Bagi daerah kaya
sekalipun meningkatkan pajak adalah alternatif yang paling mudah karena tidak
perlu melakukan banyak investasi dibandingkan jika mengekplorasi SDA. Oleh
karena itu tidak heran bila kecenderungan meningkatkan pajak ini terjadi di
banyak daerah bahkan daerah yang kaya sekalipun.
Dengan
mengingat bahwa tingkat korupsi birokrasi daerah di Indonesia masih tinggi, hal
ini ditunjukkan dalam survey kecenderungan korupsi birokrasi yang
diselenggarakan oleh PERC. Pada tahun 1999, angka kecenderungan korupsi
birokrasi menunjukkan angka 8,0 dari skala 0-10. Dimana angka nol berarti mutlak
bersih dan 10 berarti mutlak memiliki kecenderungan korupsi. Dan satu tahun
kemudian, tahun 2000, angka ini tidak mengalami perbaikan. Berdasarkan hasil
penelitian tersebut maka meningkatkan PAD akan lebih baik bila diprioritaskan
dengan cara mengurangi kebocoran pendapatan pemerintah daerah yang selama ini
ada bukan dengan cara meningkatkan pajak karena akan menyengsarakan rakyat
(Ardyanto, 2002)
Kedua,
otoritas yang sangat besar bagi DPRD untuk menyusun APBD dan menyusun anggaran
untuk DPRD sangat memungkinkan terjadinya korupsi APBD karena tidak ada
pengawasan yang sistematis kecuali jika rakyat mempunyai kesadaran yang tinggi.
Dengan demikian kembali pada kenyataan bahwa anggaran adalah power
relationmaka kemungkinan terjadinya suap (bribery) terhadap DPRD
untuk menyetujui pos anggaran tertentu yang tidak dibutuhkan rakyat sangat
mungkin terjadi.
Pertanyaan
yang muncul adalah mengapa korupsi begitu merajalela di Indonesia? Secara
teoritis Tanzi (1998) menunjukkan terjadinya korupsi APBD dipengaruhi oleh
faktor permintaan dan faktor penawaran. Dari sisi permintaan dimungkinkan
karena adanya (1) regulasi dan otorisasi yang memungkinkan terjadinya korupsi,
(2) karakteristik tertentu dari sistem perpajakan, dan (3) adanya provisi atas
barang dan jasa di bawah harga pasar. Sedangkan dari sisi penawaran
dimungkinkan terjadi karena (1) tradisi birokrasi yang cenderung korup, (2)
rendahnya gaji di kalangan birokrasi, (3) kontrol atas institusi yang tidak
memadai, dan (4) transparansi dari peraturan dan hukum. Lebih Lengkap lihat
catatan atas kelompok Anggaran (Helmi, Ahmad dkk, 2002).
E. Solusi Penanggulangan Korupsi
Seperti yang telah kita
ketahui, korupsi telah menjadi kebiasaan bagi para kalangan elit politik.
Bahkan kini korupsi sudah mulai mendesentralisasi sampai ke pejabat tingkat
daerah atau lokal. Korupsi biasanya dimulai dengan semakin mendesaknya usaha-usaha
pembangunan yang diinginkan, sedangkan proses birokrasi relaif lambat, sehingga
setiap orang atau badan menginginkan jalan pintas yang cepat dengan memberikan
imbalan-imbalan dengan cara memberikan uang pelicin (uang sogok). Praktek ini
akan berlangsung terus menerus sepanjang tidak adanya kontrol dari pemerintah
dan masyarakat, sehingga timbul golongan pegawai yang memperkaya diri sendiri.Agar tercapai tujuan pembangunan nasional, maka
mau tidak mau korupsi harus diberantas. Ada beberapa solusipenanggulangan korupsi, dimulai yang sifatnya
preventif maupun yang represif. Upaya penanggulangan korupsi adalah sebagai
berikut :
a. Preventif.
1) Membangun etos pejabat dan pegawai baik di
instansi pemerintah maupun swasta tentang pemisahan yang jelas dan tajam antara
milik pribadi dan milik perusahaan atau milik negara.
2) Memulai
dari diri sendiri, dari sekarang dan dari yang kecil untuk menghindari korupsi.
Karena ini adalah cara yang sederhana tapi sulit untuk dilakukan.
3) Mengusahakan perbaikan penghasilan (gaji) bagi
pejabat dan pegawai negeri
sesuai
dengan kemajuan ekonomi dan kemajuan swasta, agar pejabat dan pegawai saling
menegakkan wibawa dan integritas jabatannya dan tidak terbawa oleh godaan dan
kesempatan yang diberikan oleh wewenangnya.
4) Menumbuhkan kebanggaan-kebanggaan dan atribut
kehormatan diri setiap jabatan dan pekerjaan. Kebijakan pejabat dan pegawai
bukanlah bahwa mereka kaya dan melimpah, akan tetapi mereka terhormat karena
jasa pelayanannya kepada masyarakat dan negara.
5) Pimpinan
harus memberi teladan. Karena kewajiban seorang pemimpin adalah memberi teladan
yang baik bagi yang di pimpin. Seorang pemimpin harus berupaya memikirkan
solusi korupsi yang sudah menjadi tradisi klasik di tanah air. Contoh yang
bersih ini otomatis akan memberi kekuatan bagi
seorang pemimpin untuk menegakkan hukum bagi para pelaku korupsi secara
tegas, dan atasan lebih
efektif dalam memasyarakatkan pandangan, penilaian dan kebijakan.
6) Hal yang tidak kalah pentingnya adalah bagaimana
menumbuhkan “sense of belongingness” dikalangan pejabat dan
pegawai, sehingga mereka merasa perusahaan tersebut adalah milik sendiri dan
tidak perlu korupsi, dan selalu berusaha berbuat yang terbaik.
7) Memberi
pelajaran pendidikan anti korupsi sejak dini. Bagi kalangan pendidik, peran
mereka sangat penting dalam menanamkan prinsip untuk tidak melakukan korupsi
dari sekolah. Relevansi antara
pendidikan karakter sejak dini untuk membentengi generasi masa depan
bebas korupsi sangat jelas. Sebagai individu yang akan melanjutkan estafet
kepemimpinan di masa depan, seorang anak tentunya harus ditanamkan nilai-nilai
positif dalam dirinya. Sikap, prilaku, mental dan karakternya harus dibangun
dan dikembangkan dari awal agar tidak terjadi penyimpangan. Dengan karakter yang kuat dan mentalitas
yang sarat dengan nilai moral religius akan tumbuh tunas
harapan generasi masa depan yang bersih dari praktek-praktek korupsi.
b. Represif
1) Perlu penayangan wajah koruptor di televisi
Dengan adanya penayangan ini maka secara
langsung koruptor tersebut akan dilihat oleh masyarakat luas sehingga muncul rasa
malu baik dari dirinya atau keluarganya. Hal ini bisa menjadi pelajaran bagi
koruptor-koruptor yang lain.
2) Pencatatan
ulang terhadap kekayaan pejabat
Kekayaan pejabat harus dipantau oleh lembaga
khusus, setiap beberapa periode. Proses pencatatan terhadap kekayaan pejabat
ini bisa berupa uang tunai, harta benda atau investasi berupa perhiasan, tanah
dan lain lain. Ini bertujuan agar jika ada kepemilikan yang mencurigakan harus
segera ditelusuri.
3) Penegakan
hukum
Para koruptor perlu diberi hukuman seberat
beratnya yang membuat mereka jera. Sistem penegakan hukum di Indonesia kerap
terhambat dengan sikap para penegak hkum itu sendiri yang tidak serius
menegakkan hukum dan undang undang. Para pelaku hukum malah memanfaatkan hukum
itu sendiri untuk mencari keuntungan pribadi, ujungnya juga pada tindakan
korupsi . Alih alih muncullah istilah mafia hukum, yakni mereka yng diharapkan
mampu menegakkan mampu menegakkan masalah hukum malah mencari hidup dari
penegakan hukum tersebut.
BAB III
KESIMPULAN
1. Korupsi dapat diartikan sebagai suatu perbuatan tidak jujur atau
penyelewengan yang dilakukan karena adanya suatu pemberian.
2. Ada 7 pola korupsi yang sering dilakukan oleh oknum-oknum pelaku
tindak korupsi baik daari kalangan pemerintah maupun swasta. Ketujuh pola
tersebut meliputi : (1) pola konvensional, (2) pola upeti, (2) pola komisi, (4)
pola menjegal order, (5) pola perusahaan rekanan, (6) pola kuitansi fiktif dan
(7) pola penyalahgunaan wewenang.
3. Terjadinya korupsi disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu (1)
sistem pemerintahan dan birokrasi yang memang kondusif untuk melakukan
penyimpangan, (2) belum adanya sistem kontrol dari masyarakat yang kuat, dan
belum adanya perangkat peraturan dan perundang-perundangan yang tegas.
4. Faktor-faktor penyebab terjadinya korupsi adalah: (1) aspek prilaku
individu organisasi, (2) aspek organisasi, (3) aspek masyarakat tempat individu
dan organisasi berada, (4) motif, baik motif ekonomi maupun motif politik, (5)
peluang, dan (6) lemahnya pengawasan.
5. Upaya penanggulangan korupsi adalah sebagai berikut :
a. Preventif.
1) Membangun etos pejabat dan pegawai baik di
instansi pemerintah maupun swasta tentang pemisahan yang jelas dan tajam antara
milik pribadi dan milik perusahaan atau milik negara.
2) Memulai
dari diri sendiri, dari sekarang dan dari yang kecil untuk menghindari korupsi.
Karena ini adalah cara yang sederhana tapi sulit untuk dilakukan.
3) Mengusahakan perbaikan penghasilan (gaji) bagi
pejabat dan pegawai negeri sesuai dengan kemajuan ekonomi dan kemajuan swasta,
agar pejabat dan pegawai saling menegakkan wibawa dan integritas jabatannya dan
tidak terbawa oleh godaan dan kesempatan yang diberikan oleh wewenangnya.
4) Menumbuhkan kebanggaan-kebanggaan dan atribut
kehormatan diri setiap jabatan dan pekerjaan.
5) Pimpinan
harus memberi teladan.
6) Hal yang tidak kalah pentingnya adalah bagaimana
menumbuhkan “sense of belongingness” dikalangan pejabat dan
pegawai, sehingga mereka merasa perusahaan tersebut adalah milik sendiri dan
tidak perlu korupsi, dan selalu berusaha berbuat yang terbaik.
7) Memberi
pelajaran pendidikan anti korupsi sejak dini.
b. Represif
1) Perlu penayangan wajah koruptor di televisi
2) Pencatatan
ulang terhadap kekayaan pejabat
3) Penegakan
hukum
Ardyanto, Donny. 2002. Korupsi di sektor
pelayanan Publik dalam Basyaib, H., dkk. (ed.) 2002, Mencuri
Uang Rakyat : 16 kajian Korupsi di Indonesia, Buku 2, Yayasan aksara dan
Patnership for Good Governance Reform, Jakarta
Baswir Revrisond. 1993. Ekonomi, Manusia
dan Etika, Kumpulan Esai-esai Terpilih: BPFE. Yogyakarta.
______________, 1996. Ekonomi Politik
Kesenjangan, Konglomerasi, dan korupsi di Indonesia, dalam bukuPembangunan
Ekonomi dan Pemberdayaan Rakyat: BPFE. Yogyakarta.
De Asis, Maria Gonzales. Coalition-Building
to Fight Corruption, Paper Prepared for the Anti-Corruption Summit: World
Bank Institute. November 2000.
Fadjar, Mukti. 2002. Korupsi dan Penegakan
Hukum dalam pengantar
Helmi, dkk. 2003. Memahami Anggaran
Publik: Idea Press. Jogjakarta
Hermien H.K.. 1994. Korupsi di
Indonesia: dari delik Jabatan ke Tindak Pidana Korupsi: Citra Aditya Bakti.
Bandung
Klitgaard, dkk (2002). Penuntun
Pemberantasan Korupsi dalam Pemerintahan Daerah, Yayasan Obor Indonesia
& Patnership for Governance in Indonesia, Jakarta
Republik Indonesia. 2001. Undang-Undang
No. 22 dan 25 tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah: Citra
Umbara. Bandung.
Komentar
Posting Komentar